Rumah



Pulang, kata yang paling dielu-elukan pelajar. Sorak-sorai gemuruh ombak samudra terdengar memenuhi seisi koridor sekolah ketika bel telah berderu. Riuh, gaduh, rusuh, bukanlah hal yang tabu di kalangan pelajar. Rasanya indah bila mengenang memori masa sekolah. Tempat kita berpulang pada realitas sesungguhnya, karena di sanalah kita akan mengarungi setengah arus kehidupan dunia. Balita hingga dewasa, tak pernah letih kita kembali belajar dan belajar. Kita semua tahu, bahwa kebanyakan pelajar tak pernah berikrar bahwa sekolah adalah rumah keduanya. Tenang, tak apa. Mereka hanya terlalu segan mengakuinya.
Namun, bila sekolah merupakan rumah kedua, lantas apa definisi pulang sesungguhnya? Berbalik? Kembali? Entahlah, itu tergantung bagaimana interpretasi setiap orang dengan pola pikirnya masing-masing. Namun bagiku, pulang tetaplah kembali, asal setiap perjalanan mempunyai tujuan. Ya, kita tidak perlu menepis fakta bahwa pada hakikatnya sekolah adalah rumah kedua kita. Karena dengannya, kita memiliki tujuan, arah, visi, dan sasaran. Jangan pernah membayangkan hal yang membuatmu pegal hati mengenai sekolah. Percayalah, itu sama saja dengan angan-angan yang menerawang langit. Percuma. Tak semua hal tentangnya buruk, kita saja yang terlalu mendamba rumah mewah. Padahal rumah yang nyaman sudah setia menunggu kehadiran kita tiap paginya. Sekolah yang kita rawat saban hari sesuai jadwal piket sebenarnya dapat menjadi keuntungan bagi diri kita sendiri, salah satunya ialah pada proses perkembangan diri menjadi sosok remaja yang mandiri. Bagai siklus hujan, sekolah tidak hanya menerima, namun memberi, dan kita dapat menuai manfaat darinya.
Memang benar, terkadang penghuni sekolah tak manusiawi sehingga membuat kita jenuh. Tak perlu berkecil hati. Karena dari sanalah kita bisa belajar menghargai. Orang tua tak akan pernah memberi sesuatu yang buruk pada anaknya, seorang teman yang baik tentu akan setia menawarkan bahu bagi karibnya, begitu pula dengan setiap tugas yang diberikan, sudah pasti bermanfaat untuk kita kedepannya.
Aku yakin bahwa pelajar sejatinya tak membenci sekolah, mereka hanya belum mencintainya saja. Karena jatuh hati butuh proses, dari hati ke hati. Aku sangat meyakini pula bahwa pendekatan merupakan cara jitu dalam mencintai. Ya, tidak mudah, sih, bila menuruti semua kehendak orang lain. Seperti dalam sebuah keluarga, kita harus bisa secakap mungkin dalam menghadapi berbagai karakter. Oleh karena itu, dalam hal inilah emosi berperan. Kemampuan mengelola emosi akan sangat menentukan dalam menciptakan suasana yang kondusif. Dan tantangan terbesar dalam pengendalian emosi adalah pada saat terjadinya konflik. Para guru yang berperan sebagai orang tua memang pernah melakukan kesalahan, baik itu dalam waktu belajar-mengajar maupun selaku wali kita di sekolah, tetapi seyogyanya tak perlulah kita merajuk hingga bermalas-malasan dalam menuntut ilmu. Ada kalanya curhat perihal sekolah ke orang bijak, seperti guru BK ataupun orang tua di rumah, adalah solusi terbaik. Namun jika masih tak menemukan solusi, maka sebaik-baiknya tempat curhat adalah Allah SWT dan sebaik-baiknya tauladan kita adalah Rasulullah SAW. Karena ilmu tanpa iman bagai tubuh tanpa nyawa, utuh tetapi tidak hidup. Maka jadikanlah sekolah sebagai rumah keduamu dalam melangkah menuju rumah sesungguhnya, surga Allah SWT.

Komentar

Postingan Populer