Dilema Pendidikan di Indonesia
Deru sepeda
berlomba-lomba setiap pukul 7 pagi. Pagar tua dengan derit khasnya itu selalu
siap menyambut para pelajar. Ah, suasana yang akan kurindukan. Bercengkrama
dengan satpam sekolah, riuh memilih tempat parkir sepeda, dan pada akhirnya
hampir terlambat mengikuti sholat dhuha berjamaah.
Sekolah, salah
satu tempat favoritku. Benar kata orang, sekolah adalah rumah kedua kita. Rumah
yang menampung berjuta-juta pemikiran, beribu-beribu asa, dan menghasilkan
ratusan cendekiawan yang akan mengubah satu dunia, dimulai dengan langkah
pertamanya di halaman sekolah.
• • •
Kalau diingat –
ingat, lucu juga, ya, waktu pertama kali kita mengenakan seragam. Ngomong –
ngomong, kapan kalian mulai mengenakan seragam? Kalau aku, sepertinya dari TK.
Eh, atau PAUD ya? Aku sedikit lupa.
Tahu nggak, sih,
rasanya mengenakan seragam pertama itu seperti menemukan satu kepingan puzzle
pada diri kita. Menjadi bagian dari sekian banyak generasi baru itu keren
banget! Yah, meskipun pada kenyataannya, kita merengek ingin pulang, menarik – narik
lengan baju ibu, atau bahkan duduk ditemani ibu pula saat pertama kali sekolah.
Hahaha, benar – benar pemalu dan tidak percaya dirinya kita di kala itu.
Untung saja, para
guru siap mengajari kita dengan sepenuh hati, mulai dari membaca, menulis,
berhitung, dan tak lupa diselingi dengan permainan di setiap pertemuannya. Bertemu
dengan teman baru, belajar bersosialisasi, dan bagaimana kerja secara
berkelompok pun dimulai dari permainan sederhana ala guru TK. Tahu – tahu sudah
keasyikan, eh malah kita yang tidak mau pulang dari sekolah!
Beberapa dari kita
pun tumbuh dengan cepat, ada yang bisa membaca Ini Bapak Budi secara lancar,
menulis abjad tanpa garis putus – putus di buku kotak, hingga menjadi
perwakilan kelas saat lomba 17-an. Tapi tenang saja, sebagian lainnya pun mulai
menyusul dengan kemampuannya masing – masing. Percayalah, pendidikan memang bukan
hal yang instan. Bahkan, menjadi guru TK pun butuh mengenyam pendidikan terlebih
dahulu, baik secara formal, maupun informal.
Selanjutnya, kita mulai menduduki bangku sekolah dasar. Semua yang kita
pelajari di TK, mulai dikembangkan dengan kurikulum dan silabus yang berlaku.
Materi sains, sosial, seni, olahraga, dan masih banyak lagi disisipkan pada
jadwal belajar kita. Tak berhenti di seragam merah putih, pemerintah telah mencanangkan
program wajib belajar 9 tahun, yang kemudian ditingkatkan menjadi 12 tahun pada
bulan Juni 2015 (berdasarkan artikel pada kompas.com).
Sayangnya, program tersebut dinilai belum 100% berhasil.
Tidak sedikit masyarakat
yang belum mengimplementasikan program wajib belajar 12 tahun. Tentunya hal ini
dikarenakan berbagai faktor, terutama bidang ekonomi. Yah, sejujurnya aku pun ikut
sedih. Masih banyak adik – adik yang belum menerima pendidikan sebagaimana harusnya.
Ayo coba kita telaah lebih dalam. Dari bidang ekonomi saja, saat ini ada dua
faktor masalah pendidikan. Pertama, kondisi keuangan keluarga menengah ke bawah
yang belum berkecukupan. Menurut penelusuranku, kebanyakan dari mereka
beralasan seperti ini, “Untuk makan dan hidup sehari – hari saja kurang.
Apalagi pendidikan.” Nah, pernyataan tersebut akan mengantarkan kita pada
alasan kedua, yaitu masih solidnya orientasi beberapa orang tua bahwa yang tujuan
hidup saat ini adalah uang. Untuk apa bersekolah tinggi – tinggi jika pada
akhirnya kita semua mencari uang?
Phew, that’s kinda hurt, right? Adapun kubu para pelajar yang lantas
naik pitam setelah mendengar kenyataan pahit tersebut. Hei, marah dan kesal itu
wajar. Tapi jangan sampai berhasil dikendalikan emosi. Ingat, waktu terus
berjalan, wawasan semakin berkembang, dan kita harus menanganinya secara elegan.
Berikan pengetahuan atas apa yang telah kita pelajari selama bersekolah. Percayalah,
ilmu tidak akan pernah berkurang. Bahkan adab—yang mungkin bisa didapatkan oleh
semua orang secara informal—belum tentu bisa dilakukan dengan baik dan benar
tanpa diimbangi dengan pemikiran yang matang.
Source: https://unsplash.com/photos/GoFeJMsxAVM |
• • •
Tak hanya dari mereka
yang belum mencicipi pendidikan, permasalahan pun sebenarnya tak luput dari dalam
pendidikan Indonesia sendiri. Tahukah kalian, banyak pelajar yang kebingungan
dengan kurikulum yang ditetapkan? Berdasarkan revisi terhadap kurikulum pendidikan
beberapa tahun ke belakang, kurikulum yang berlaku adalah KTSP, Kurikulum 2013,
Kurikulum 2013 Revisi 2016, Kurikulum 2013 Revisi 2017, Kurikulum 2013 Revisi
2018, dan masih terus berlanjut. Wah, banyak juga, ya?
Bukan, ini bukan salah
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sepenuhnya, tetapi karena bidang
pendidikan sendiri yang terus berkembang setiap hari, atau bahkan setiap detik,
dan tentu negara kita harus menyesuaikannya. Sayang saja, kurikulum terus
berkembang namun beberapa tenaga pendidik dan siswa yang dididik belum siap mengaplikasikannya.
Hal ini tak jarang terjadi pada sekolah di pelosok daerah. Ada beberapa faktor
penyebab di luar kendali Kemendikbud, baik secara internal (seperti pola pikir anak
– anak yang akan diajar) dan eksternal (seperti kondisi sosial dan ekonomi
sekolah). Nah, betapa complicatednya dunia pendidikan ini, bukan?
Ini baru dari sisi
kurikulum, sejujurnya masih ada permasalahan – permasalahan lainnya. Tetapi,
balik lagi ke pribadi masing – masing pelajar, bagaimana menghadapinya dengan
benar. Inilah salah satu manfaat dari belajar di bangku sekolah, kita akan
terbiasa berpikir secara perseptif. Teman – teman, sudah saatnya kita mengkritisi
pendidikan di Indonesia dan mulai langkah kecil dari diri kita.
Yuk, mulai perubahan
di dunia pendidikan. Jangan sampai kita kembali diperbudak bahkan dijajah oleh
bangsa lain. Perjuangan para pahlawan harus dilestarikan. Tak apa beristirahat
sejenak, karena perjuangan membutuhkan bekal yang cukup dan tenaga yang tidak
sedikit. Seperti kata bijak yang dikutip dari laman popbela.com,
“Tidak ada lift untuk sukses, kamu harus naik tangga.” – Zig Ziglar, seorang
pengarang hebat, dan “Berjuang untuk sukses tanpa kerja keras seperti mencoba
memanen ketika kamu belum menanam." – David Bly, seorang politikus
Amerika.
Kita boleh
menempuh pendidikan sampai ke negeri Cina, ilmu itu tidak ada batasannya. Bahkan
dari seekor semut kecil, kita bisa belajar arti pantang menyerah. Tapi tetap
pada jalur, ingatlah untuk mengabdi kepada negeri dengan sepenuh hati. Selamat
Hari Pendidikan untuk seluruh pelajar di Indonesia!
“Hiduplah seakan kamu akan mati besok, belajarlah seakan kamu hidup
selamanya.” – Mahatma Gandhi.
Komentar
Posting Komentar