2020, Saatnya Peka Kesehatan Mental


            Di masa pandemi Covid-19, kesehatan mental adalah salah satu concern bagi sebagian besar masyarakat. Tidak melulu soal fisik, dengan semakin curamnya grafik pesebaran virus mematikan ini, tak jarang memicu pergelutan batin diri sendiri. Apabila sebelumnya si ekstrovert gemar berinteraksi atau melakukan kontak sosial antara satu sama lain, kini ia harus terbiasa berdiam diri di rumah dan mengandalkan aplikasi tele-conference. Begitu pula dengan introvert, setertutupnya pribadi yang ia miliki, tetap saja ada rasa rindu akan kehidupan luar yang biasa ia habiskan untuk me-time.

Menurut M. Jahoda, pelopor gerakan kesehatan mental, kesehatan mental adalah kondisi dimana seseorang yang berkaitan dengan penyesuaian diri yang aktif dalam menghadapi dan mengatasi masalah dengan mempertahankan stabilitas diri, juga ketika berhadapan dengan kondisi baru, serta memiliki penilaian nyata baik tentang kehidupan maupun keadaan diri sendiri. Seiring berjalannya waktu, kita harus sadar bahwa kesehatan mental sebenarnya tak sebatas kebutuhan pribadi. Masih banyak teman dan saudara yang kurang mengerti akan hal ini. Ya, selama peran psikolog masih dianggap remeh, maka gangguan jiwa tetap mengantongi stigma negatif di masyarakat.

 Jika berbicara mengenai sejarah, dilansir dari situs fk.ugm.ac.id, selama periode kolonial kebijakan pelayanan kesehatan mental terfokus pada rumah sakit khusus jiwa. Lalu dengan perkembangan pelayanan kesehatan di Indonesia, tahun 70-90an, beberapa metode pelayanan dan penyembuhan mulai diperkenalkan. Termasuk pelayanan tradisional seperti ‘dukun’ atau biasa disebut sebagai ‘orang pintar’. Kondisi ini lah yang menjadi penyebab sikap masyarakat lebih memilih untuk melakukan pemasungan dan pengobatan tradisional tanpa bukti dampak yang kuat daripada mencari psikolog, psikiater ataupun praktisi kesehatan mental lain.

“Halah, baperan.”

“Lemah!”

“Hahaha. Gila, ya, makanya ke psikolog?”

Kicauan di atas mungkin terasa biasa saja bila dibaca oleh seseorang yang sedang dalam hari-hari terbaiknya. Namun, apakah akan terasa sama bagi penderita stres berat, depresi, atau kecemasan berlebih? Dengan mendengar omongan menafikan yang bertubi-tubi, secara tidak langsung psikis mereka akan meresponnya sebagai sesuatu yang hina. Kemudian bisikan untuk menyerah semakin menghantui tiap harinya. Lantas seperti luka yang terlalu lama dibiarkan terbuka, kesehatan mental mereka pun justru memburuk. Hingga lambat laun, tanpa kita sadari dunia ini penuh dengan manusia bertopeng yang dipaksa menjadi dewasa dalam memaklumi keadaan.

Sungguh teriris hati ketika mengingat contoh terdekat yang bisa diambil adalah lingkungan keluarga. Tempat dimana hakikatnya saling mengasihi satu sama lain, tiba-tiba dipisahkan oleh luka batin akibat cara didik yang kadang terlalu keras. Nyatanya meski zaman telah berkembang, watak tetap sulit untuk diubah.

Namun percaya lah akan selalu ada hal baik dalam setiap cerita. Stigma yang beredar di masyarakat lantas tidak menyurutkan semangat garda terdepanyaitu para aktivis dan praktisi kesehatan mentalbegitu saja. Berbagai seminar seputar kesehatan mental terus gencar dilakukan kepada setiap lapisan masyarakat. Sosialisasi mengenai self love pula semakin terbuka lebar, terutama bagi kaum perempuan. Kini bisa kita lihat sendiri bertebaran berbagai konten menjaga kesehatan mental baik di Instagram, Youtube, maupun artikel seperti pada blog saya ini. Selain itu, berdasarkan situs alodokter.com/kesehatan-mental, terdapat obat-obatan yang mampu meredakan gejala penderita dan meningkatkan efektivitas psikoterapi, seperti antidepresan (fluoxetine), pereda cemas (alprazolam), dan antipsikotik (aripiprazole).

Memelihara kesehatan mental bisa dilakukan secara mandiri dari segi spiritual. Misalnya bagi umat muslim dengan melakukan sholat, berdzikir, maupun mengaji. Selalu berserah diri pada Tuhan dan mengingat bahwa kita tidak pernah berjuang sendirian adalah kunci dari self healing. Selain itu, kita dapat melakukan meditasi atau bersemedi. Segala hal negatif yang ada di sekitar kita jangan sampai merusak kesehatan mental secara perlahan. Luangkan waktu untuk diri sendiri. 30 menit dalam sehari adalah waktu ideal, terutama sebelum tidur. Jika hal tersebut terasa terlalu banyak menyita waktu, dua menit sehari juga cukup.

        Oleh karena itu, sudah saatnya kita peka akan kesehatan mental diri sendiri dan orang lain, serta mulai sadar bahwa penderita gangguan mental bukanlah hal yang sepele bahkan hina. Berikan bantuan kepada mereka yang telah menampakkan tanda-tanda negatif. Hindari pula sifat memikirkan sesuatu secara berlebihan (overthinking) apalagi bila pandangan kita terhadap dunia selalu buruk. Karena alangkah baiknya mencegah sebelum semakin parah, bukan? Masih banyak orang-orang baik di sekitar kita.

Oleh: Amelia Kartika Wijaya
Fakultas Ilmu Komputer
Jurusan Sistem Informasi
Prodi Teknologi Informasi
Cluster 32

Tags:
#Adhikara58
#MabaUB2020
#RAJABrawijaya2020
#KitaSatuBrawijaya
#KreasiNyataBrawijayans

Komentar

Postingan Populer